Oleh: Safari Munjin
Jika kalian tinggal di sebuah kota besar, tentu kalian bisa membayangkan, bagaimana rasanya menjalani kehidupan sehari-hari yang diwarnai dengan kemacetan, polusi, klakson kendaraan, dan juga terkadang umpatan di sela huru-hara tersebut. Apalagi ditambah dengan beban tanggung jawab perkerjaan, sekolah, dan lain sebagainya. Kehidupan pasti terasa sumpek, panas, dan ingin meledak.
Contoh itu baru secuil kesemawrutan di jalanan. Tanpa kita sadari, kita juga membawa pulang kesemrawutan itu melalui ponsel kita. Mulai dari kita bangun tidur hingga menjelang tidur kembali, deras simpang siur informasi memenuhi feed media sosial kita. Beruntung apabila kita mampu memfilter beragam informasi itu, jika tidak? Bisa dipastikan beragam kecemasan akan segera mencekam kesehatan kita.
Kehidupan semacam itu ibarat terjebak dalam perlombaan yang tak jelas apa dan dimana garis finisnya. Kota menjelma menjadi rimba. Setiap orang dituntut menjadi yang tercepat dan terhebat. Jargon yang berlaku adalah, “semakin cepat, semakin dekat ia dengan tujuannya.” Namun benarkah seperti itu rumusnya? Sudahkah kita melihat lebih dalam akibat dari semua itu?
Saya pikir setiap orang perlu berhenti sejenak. Berdiam diri di tempat favorit anda, letakan ponsel dan segala keruwetan yang ada dalam pikiran anda, lalu renungi, sudahkah kita bersikap bijak kepada diri kita sendiri, kepada orang lain, kepada lingkungan, bahkan kepada Tuhan.
Meski rima kehidupan kota selalu identik dengan kecepatan, tetapi bukankah lebih baik jika hal itu tidak menutup kepekaan kita sebagai manusia yang memiliki rasa dan karsa. Ada yang lebih berharga daripada sekedar menyelesaikan tenggat pekerjaan tepat waktu. Ada yang lebih membahagiakan daripada sekadar sebuah pengakuan. Apa itu? Mental yang sehat.
Mental yang sehat tidak hanya tentang bagaimana kita mampu bertindak secara bijak, tetapi juga bagaimana kita mampu bersikap tanpa mengkesampingkan hal-hal kecil di sekitar kita yang terkadang tanpa kita sadari, bisa saja membawa akibat yang baik atau buruk. Tergantung bagaiamana sikap kita.
Contoh kecil misalnya sikap abai kita terhadap ‘buang sampah pada tempatnya.’ Sampai kita benar-benar merasakan dampaknya, kita tidak akan pernah menyadari bahwa ada segudang konsekuensi di balik tindakan abai itu. Selokan tersumbat, banjir, lingkungan tercemar, rusaknya pemandangan, hingga merugikan beragam organisme yang tidak pernah kita sadari kehadirannya seperti ulat, serangga, rerumputan, dan lain sebagainya yang juga mempunyai hak untuk hidup di bumi.
Kita tidak mempunyai waktu yang cukup untuk menunggu setiap orang memiliki kesadaran sikap semacam itu. Apalagi jika perihal itu sudah dihadapkan dengan masalah ekonomi. Memang, ada harga mahal yang harus dibayar, tetapi bukankah semua tergantung kepada kesadaran masing-masing?
Itulah mengapa saya menekankan pentingnya mempunyai mental yang sehat. Meski kita hidup di tengah semrawutnya kota (berlaku juga bagi yang tidak tinggal di kota), kita tidak boleh sedikitpun lengah dan kehilangan kesadaran kita sebagai manusia, satu dari sekian banyak spesies yang mendiami bumi ini. Sangat tidak bijak membiarkan ambisi menjadi
boomerang bagi kenyamanan kehidupan kita sendiri.
Ingat, alam tidak mengenal belas kasihan. Jadi sebelum terlambat, yuk menepi sejenak dan kenali diri kita lebih jauh. Mencintai dirimu berarti mencintai pula bumimu.

Comments