top of page
Search
  • Writer's pictureBaramoeda

Keberlanjutan: Sebuah investasi untuk masa depan

Oleh: Mariska Adeline Sukmajaya


“Apalah arti manusia tanpa manusia lainnya? Dan apakah arti manusia-manusia ini apabila tidak hidup di lingkungannya?”


Izinkan saya memulai tulisan ini dengan menggemakan buah pikiran Dr. Muhammad Faisal[1]: sungguh betul COVID-19 telah berhasil membawa manusia kembali ke akar dan kearifan masyarakatnya. Dalam tatanan baru kehidupan yang beradaptasi dengan corona virus ini, interaksi antar manusia, nilai-nilai luhur, budaya, dan lingkungan hidup menjadi suatu ekosistem yang saling berinteraksi erat.


Manusia dan lingkungan merupakan satu paket yang tidak terpisahkan dan saling bergantung satu sama lain, di mana salah satu penghubungnya adalah konsep keberlanjutan. Iseng-iseng saya mencari di internet. Lho, ternyata baik kata “keberlanjutan” maupun “sustainability” tidak memiliki definisi khusus pada Mirriam-Webster atau Kamus Besar Bahasa Indonesia. Yang ada adalah “sustainable” atau “berkelanjutan” yang masing-masing merupakan adjektiva dan verba.


Wah, wah, ternyata keberlanjutan ini erat dengan “sifat” dan “kerja”! 😊


Pada umumnya, secara global manusia mengenal keberlanjutan sebagai triple bottom line yang menggarisbawahi “people – planet – profit”. Adapun konsep ini pertama kali dikumandangkan hampir seperempat abad lalu pada tahun 1994 oleh John Elkington[2], seorang founder jasa konsultasi SustainAbility di Inggris Raya. Sebagai sebuah kemampuan (ability) untuk berlangsung terus menerus (sustain), tiga aspek utama: Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST) perlu diintegrasikan dalam kehidupan manusia (people), agar lingkungan (planet) terjaga, dan menguntungkan (profit) bagi semua pihak. Keberlanjutan ini baru seimbang adanya apabila trinitas suci ini hadir. Hal ini tidak dapat ditawar – berfokus pada lingkungan saja akan sangat mempengaruhi sikap dan perilaku manusia. Di sisi lain, terlalu mengutamakan kepentingan manusia saja pun dapat membuat jasa lingkungan tergerus, dan keberlangsungan hidup di masa depan jadi terancam. Terakhir, tanpa tata kelola yang baik, hancurlah daya upaya manusia dan lingkungan di sekitarnya.


Sebagaimana tertulis di atas, keberlanjutan merupakan sebuah sifat dan kerja. Oleh sebab itu, ia perlu dibangun, mulai dari hal-hal kecil, yang berdampak langsung yang dapat kita lakukan: meminimalisir penggunaan plastik, mendaur ulang sampah, menghemat energi, menanam pohon, menggunakan transportasi publik, berkontribusi aktif dalam upaya/kampanye keberlanjutan pemerintah, mendukung masyarakat adat dan/atau organisasi penggiat lingkungan, dsb, ataupun lewat hal-hal yang tidak berdampak langsung seperti keuangan berkelanjutan (investasi hijau pada instrumen green

lending/green bond/green sukuk/green insurance/carbon tax/Islamic finance, dsb, yang ditawarkan negara atau pihak swasta).


Kembali izinkan saya untuk memberi sedikit kisi-kisi mengenai membangun keberlanjutan ini:


(1) Membicarakan keberlanjutan selayaknya membicarakan agama. Ada yang percaya dan taat, ada yang cukup tahu dan merayakan seperlunya, dan ada yang tidak memberikan perhatian khusus. Semua merupakan pilihan masing-masing pribadi.


(2) Keberlanjutan merupakan sebuah komitmen perjalanan. Selayaknya diet, tentu tidak dapat diperoleh secara instan dalam waktu yang singkat. Perlu kerja keras dan disiplin diri (“menjaga makan” dan “olahraga teratur” untuk “menjaga berat badan ideal dan kesehatan”).


(3) Keberlanjutan itu mahal, namun merupakan sebuah harga yang pantas. Saya seringkali melakukan refleksi diri: (a) Apakah saya bersedia membayar lebih untuk produk-produk yang sungguh diolah secara bertanggungjawab lingkungan dan sosial? Misal: membeli minyak goreng yang memiliki sertifikasi “halal keberlanjutan” yang kredibel seperti RSPO/ISPO atau produk olahan kayu yang bersertifikasi FSC/SVLK; (b) Apakah saya lebih mengutamakan produk UMKM nusantara dibanding produk luar negeri? Ya, ini pengorbanan materi & perubahan sikap dan perilaku yang mahal tapi sudah layak dan sepantasnya untuk saya lakukan.


(4) Bagaikan merokok, kita tahu bahwa merokok berbahaya bagi kesehatan. Melakukan hal-hal yang tidak berkelanjutan pun tentu berbahaya bagi masa depan. Walau sudah ada peraturan larangan merokok, masih saja ada orang-orang yang memutuskan tetap merokok karena masih menemukan kenyamanannya. Kita mungkin dapat dengan giat mempraktikkan keberlanjutan, tapi sewajarnya akan masih ada pihak-pihak yang belum melakukannya. Pada akhirnya pun, merokok maupun tidak merokok akan berujung pada kematian. Doing sustainably or not, it will lead to the same fate. But here come the one million questions: Apabila ada pilihan untuk hidup lebih sehat, mengapa harus “menyakiti diri sendiri”? Dan apakah kita ingin diingat anak cucu kita sebagai generasi penghancur masa depan mereka?


Hanya ada satu bumi yang dapat kita wariskan. Oleh karena keberlanjutan ini lebih luas maknanya dari sekedar pilihan kata sifat atau kerja. Keberlanjutan merupakan sebuah keharusan yang tidak dapat ditunda. Bukan untuk membayar hutang, tapi sebagai sebuah tugas mulia yang kita emban untuk investasi masa depan bersama. Today more than yesterday, and tomorrow more than today!


Saya cinta bumi ini dan isinya, dan saya yakin kamu juga 😊


***

Mariska Adeline Sukmajaya


Penulis adalah seorang praktisi keuangan berkelanjutan dengan 9 tahun pengalaman keberlanjutan pada industri pemanfaatan sumber daya alam, perbankan, non-profit dan organisasi internasional.


194 views0 comments
Post: Blog2_Post
bottom of page